Istilah "eksis" dalam bahasa Indonesia berasal dari kata "existentialism" yang menggambarkan pemikiran filosofis tentang keberadaan individu.
Pemikiran eksistensialisme pertama kali diperkenalkan di Indonesia pada tahun 1950-an oleh sekelompok intelektual dan penulis seperti Chairil Anwar, Sutan Takdir Alisjahbana, dan Pramoedya Ananta Toer.
Eksistensialisme di Indonesia sering dihubungkan dengan pergerakan sastra baru pada tahun 1960-an yang menekankan pengalaman individu dan eksistensi manusia dalam karya sastra.
Salah satu penulis Indonesia yang terkenal dengan karya eksistensialismenya adalah D. Djajakusuma dengan novelnya "Kematian Seorang Ahli Filsafat".
Pemikiran eksistensialisme juga mempengaruhi gerakan seni rupa Indonesia pada tahun 1970-an, terutama dalam hal penggunaan simbol-simbol dan metafora tentang keberadaan manusia.
Beberapa tokoh Indonesia yang dikenal sebagai eksistensialis antara lain Goenawan Mohammad, Emha Ainun Nadjib, dan Chairil Anwar.
Eksistensialisme di Indonesia juga dipengaruhi oleh pemikiran Søren Kierkegaard, Jean-Paul Sartre, dan Albert Camus.
Salah satu karya sastra Indonesia yang dianggap mewakili eksistensialisme adalah "Aku" karya Chairil Anwar.
Eksistensialisme di Indonesia juga mempengaruhi gerakan teater eksperimental pada tahun 1970-an, seperti Teater Mandiri yang dipimpin oleh Rendra.
Eksistensialisme di Indonesia masih menjadi topik yang menarik perhatian di kalangan akademisi dan intelektual, terutama dalam konteks kajian sastra dan filsafat.